Monday, March 31, 2014

Lupa



The ability to remember the past is a two-sided coin




Seorang teman lama menanyakan kepada saya mengenai suatu tempat di bagian utara kota. Ia tahu bahwa selama menahun yang lalu, saya cukup sering mengunjungi tempat tersebut. Ternyata . . . saya hanya bisa mendeskripsikan tempat itu dalam dua kalimat saja. Selebihnya?                                                                                         
Saya lupa. 

Ingatan akan tempat itu tidak lagi utuh. Jangankan arah menuju tempat tersebut, nama tempatnya pun saya lupa. Ibaratnya seperti tulisan koran yang terkena tetesan hujan. Buram. Mendadak berbagai pertanyaan muncul di kepala. Apa itu lupa? Mengapa saya bisa lupa sesuatu yang sebenarnya masih ingin saya ingat?  Apakah semua ini terkait dengan saya yang pelupa? Atau memang saya memilih untuk lupa? dengan kata lain, melupakan




Forgetting is the inability to recall something now, that could be recalled on earlier occasion [1]. Poin utama dari definisi tersebut adalah "ketidakmampuan untuk mengingat". Ingatan atau memori sebenarnya sudah menjadi objek ketertarikan para ilmuan sejak beberapa ratus tahun yang lalu. Koriat dan Goldsmith memiliki dua pendapat terkait deskripsi dari ingatan, yaitu berupa storehouse metaphor dan correspondence metaphor [2]. Jika di pandang sebagai storehouse metaphor, ingatan adalah sebuah gudang yang berisi berbagai item tersimpan. Fokus dari storehouse metaphor adalah kuantitas item yang dapat di simpan. Sedangkan correspondence metaphor memandang ingatan sebagai deskripsi dari masa lalu, dengan fokus pada akurasi deskripsi dari masa lalu tersebut. Terlepas dari metafor mana yang akan anda anut, ingatan itu bersifat cue-dependent. Artinya kemampuan untuk mengingat sangat ditentukan oleh sinyal-sinyal atau tanda-tanda tertentu yang dapat kita gunakan untuk mengakses ingatan.

Lupa pada dasarnya merupakan suatu mekanisme alami. Bayangkan jika kita masih mengingat dengan jelas setiap detail dari berbagai peristiwa. Oh tentu hidup ini akan menjadi tidak nyaman! Ada lima jenis mekanisme lupa, berupa failure to encode, disrupted consolidation, retrieval competition, resolving retrieval competition, dan ineffective retrieval cues [3]. Prinsip utama dari seluruh mekanisme tersebut yaitu "adanya interferensi yang mengganggu proses penyusunan suatu ingatan". Interferensi ini dapat berupa berbagai macam hal, mulai dari jeda waktu antar informasi hingga sinyal pengakses ingatan yang terfragmentasi.

Otak adalah organ yang mengorganisir mekanisme lupa. Saya tidak dapat membayangkan kompleksitas dari kerja otak, dimana ia tidak boleh keliru dalam menentukan ingatan mana yang harus di simpan dan mana yang sebaiknya di buang. Studi terbaru yang dilakukan oleh Benoit dan Anderson menyatakan bahwa otak memiliki dua mekanisme untuk melupakan suatu ingatan di masa lalu yang bersifat traumatic, unwanted, atau undesirable yaitu melalui direct suppression dan thought substitution [4].

Pada mekanisme direct suppression, otak akan menghambat proses mengingat yang terjadi pada daerah hippocampus. Daerah tersebut sangat berperan dalam pembentukan ingatan secara sadar (conscious memories). Interferensi pada daerah hippocampus akan menghambat ingatan untuk di simpan. Sedangkan pada mekanisme thought substitution, otak akan mengganti ingatan buruk yang ingin dilupakan dengan sesuatu yang lain. . . . mengagumkan sekali bukan?




Tanpa disadari, saya sesungguhnya telah mempraktikkan mekanisme thought substitution sejak lama. Ya, bahkan jauh sebelum artikel studi neuron terbaru itu terbit. Saya terbiasa mensubstitusi ingatan buruk yang ingin dilupakan. Saya mengganti ingatan buruk dengan ingatan baik, atau menggantinya dengan keadaan saat ini. Keadaan bahwa saya baik-baik saja. Keadaan bahwa saya bisa bertahan melalui hal-hal buruk yang pernah terjadi. Kunci terpenting dari semuanya adalah proses menerima. Kita harus menerima bahwa "perpisahan itu tidak terelakkan", baik itu disebabkan oleh kematian, emosi sempit, ataupun tuntutan takaran ideal secara normatif. Kita harus menerima bahwa hal-hal buruk bisa saja terjadi untuk membentuk kepribadian yang lebih kuat. Ya, menerima adalah kuncinya.

Masalah seberapa buram ingatan akan masa lalu yang tersisa di otak, kita tetap tidak bisa mengatur. Buktinya, saya tetap saja lupa akan tempat di utara kota. Padahal saya masih ingin menyimpan informasi tersebut, tokh ia tidak termasuk dalam jenis ingatan buruk. Namun tidak dapat dipungkiri, ia berada di periode hidup yang ingin saya lupakan. Periode hidup yang banyak saya substitusi.
Nampaknya sinyal-sinyal pengakses ingatan akan tempat tersebut ikut terganggu, karena tumpang tindih dengan mekanisme melupakan
dan pada akhirnya, saya pun lupa akan tempat di utara kota.
dan saya bersyukur sudah lupa. 



Referensi:
[1] Tulving, E. (1974). Cue-dependent forgetting. American Scientist (62), 74-‐82.
[2] Koriat, A., and Goldsmith, M. (2000). Toward psychology of memory accuracy. Annual Review of Psychology (51), 481-­537.
[3] Levy, B. and Kuhl, B. (2010). The functional neuroimaging of forgetting. In Gronlund, S. and Kimball, D. (2012). Remembering and Forgetting: From the Laboratory Looking Out. University of Oklahoma Press.
[4] Benoit, R. and Anderson, M. (2012). Opposing Mechanisms Support the Voluntary Forgetting of Unwanted Memories. Neuron (76), 450-460. 







The past allows us to relive cherished episodes 
but also confronts us with past events that we would rather forget.








with  hug,
Indah Budi Utari

No comments:

Post a Comment