Sunday, June 16, 2013

Count On it,



Have you ever count on the cost of mobility?
How much we have to pay everytime the engine switched on?



Saat pertanyaan itu diajukan, yang langsung terbayang di benak saya adalah pengeluaran bensin. Ya, dalam sebulan saya harus mengalokasikan sekitar delapan puluh ribu rupiah untuk menutrisi scooter kesayangan. Sebenarnya angka tersebut dapat lebih di tekan bila menggunakan bensin Premium, namun saya memilih menggunakan Pertamax. Keputusan ini terlepas dari pengaruh gencarnya propaganda Pemerintah tentang penggunaan BBM nonsubsidi lho... Saya memilih menggunakan Pertamax dengan alasan sederhana, yaitu karena dianjurkan dalam manual book si scooter, hahahahahaa – Oh yeah, I am a kind of nerd who always read the instruction before doing something.

Namun apabila sekarang pertanyaan yang sama kembali diajukan, maka saya membutuhkan lebih dari selembar kertas untuk bisa menguraikan the cost of mobility. Bukan karena scooter saya bertambah, tetapi disebabkan oleh pemahaman saya yang telah berubah. Saya menyadari bahwa sebagai manusia, sesungguhnya kita memiliki peranan yang sangat besar dalam sistem pergerakan. hemmm . . . kalian sudah paham dan sadar belum tentang peranan diri sendiri dalam sistem pergerakan?  Jika belum, silahkan baca post saya sebelumnya tentang kemacetan yaa….

The cost of mobility ternyata tidak sesederhana yang saya bayangkan, karena adanya dimensi lingkungan yang terlibat dari sistem transportasi. Ada tiga cost  yang timbul sebagai akibat dari mobilitas, yaitu internal variable costs, internal fixed costs, dan external costs. Internal costs adalah biaya yang dikeluarkan oleh pengguna kendaraan, sedangkan external costs ditanggung oleh masyarakat. Internal variable costs besarnya sangat dipengaruhi oleh jarak tempuh, namun lain halnya dengan internal fixed costs karena berkaitan dengan biaya tetap yang harus dikeluarkan oleh pengendara. Biaya parkir, asuransi, dan pajak kendaraan adalah pengeluaran yang termasuk dalam internal fixed costs, sedangkan biaya bensin adalah contoh dari internal variable costs.


Estimasi Biaya Berkendaraan
Sumber: Santoso, I (2013)

Walaupun persentase external costs tidak terlalu tinggi, akan tetapi daya rusaknya sangat membunuh.   -Lho?  Hemm, begini yaa... External costs ini mencakup kerusakan lingkungan yang terjadi akibat adanya mobilitas dengan menggunakan kendaraan bermesin. Masyarakat secara umum akan menanggung biaya pengadaan dan pemeliharaan infrastruktur, kerusakan sarana dan infrastuktur, berkurangnya produktifitas pertanian akibat alih fungsi lahan, hingga layanan kesehatan. Kuantifikasi dari external costs memang sulit dilakukan, namun secara umum biaya yang berkaitan dengan kesehatan (saja) mencapai 0.04% - 0.11% dari GDP. Indonesia memiliki GDP sebesar 846.8 milyar USD (2011), itu artinya... masyarakat harus menanggung biaya kesehatan yang timbul akibat mobilitas berkendara hingga 900 juta USD. -Pheew

Ironisnya masih banyak diantara kita yang mudah terlena dengan janji manis DP murah kendaraan. Cicilan bulanan pun dibuat semakin menggiurkan. Tak heran bila dengan hanya bermodalkan uang 300 ribu rupiah saja, kita bisa langsung "punya" motor. Kita yang terlena dengan buaian janji manis tersebut dapat resmi dikatakan sebagai kader utama lingkaran setan kemacetan. Mulut ini mengutuk macet habis-habisan, namun tangan rajin merogoh kocek untuk bayar cicilan. Permasalahan pertumbuhan jumlah kendaraan yang tinggi sebenarnya adalah hal lumrah bagi suatu negara berkembang, akan tetapi adanya kombinasi dengan intensitas emisi yang tinggi mengakibatkan kita semakin terbunuh perlahan-lahan.

Lantas apa yang bisa kita lakukan? 
Apalagi buat yang kemarin baru saja dibelikan mobil atau motor sama mami-papi? 
Masa enggak dipakai? Masa harus dijual?


Baiklah... mari kita saling berbagi solusi yang cerdas dan aplikatif. Berikut ini adalah beberapa solusi yang dapat dilakukan (dan sudah saya lakukan):
  1. Gunakanlah angkutan umum (usahakan!). Walaupun si scooter kesayangan siap mengarungi luasnya ibu kota, tapi saya lebih sering menggunakan angkot. Si scooter biasanya hanya digunakan bila saya harus pergi ke tempat yang jauh dan sulit di akses angkot, ataupun bila saya harus berkegiatan hingga larut malam. Setidaknya tiga hari dalam seminggu saya lebih memilih menggunakan angkutan umum.
  2. Jadilah pemberi tebengan. Mari optimalkan seat kendaraan kita. Ayo ajak teman-teman lain untuk pulang/berangkat berkegiatan bersama. 
  3. Gunakanlah BBM kualitas prima (misalnya Pertamax). Ini bukan iklan yaa… Apalagi titipan sponsor partai politik. Jika kita menggunakan BBM dengan kualitas yang baik, maka dampak negatif dari hasil imperfect combustion of hydrocarbons dapat lebih diminimalisasi. Mesin kendaraan kita pun akan menjadi lebih awet dan tidak merusak paru-paru orang lain.
  4. Rajin service kendaraan. Penyakit mahasiswa banget nih! Pacarnyaaa ajaaa rajin banget deh di service, tapi apa kabar tuh mobil/motor dari mami-papi? Jamuran deh di parkiran kost'an. 
  5. Nabung. Buat kalian yang punya niatan luhur untuk beli kendaraan sendiri, sebaiknya bang.bing.bung menabung dulu deh sampai bisa kebeli yang baru. Ya, pasalnya kendaraan tua cenderung mengeluarkan emisi lebih tinggi.
  6. Matikan kendaraan bila sedang berhenti. Lagi nunggu nyamperin pacar? Lagi nunggu lampu lalu lintas yang lebih dari satu menit? Lagi antri isi bensin? Hemm...baiknya mesin kendaraan-nya dimatikan dulu deh. Tokh, lagi berhenti kan? Lumayanlah, walaupun sepele tapi bisa mengurangi emisi lho....
  7. Bijak membeli. Kita harus bisa menyesuaikan antara tipe kendaraan yang akan di beli dengan kebutuhan -ingat ya!! Kebutuhan bukan keinginan!!. Jangan sampai kalau jarak antara kost'an dengan kampus kesandung aja nyampe, tapi malah milih buat beli mobil baru. -Cih
Saya yakin, pasti masih banyak solusi cerdas lainnya yang bisa kita lakukan. Namun yang terpenting adalah, "Apakah kita sendiri sudah melakukannya?" karena pernyataan sikap saja tidak cukup. Biarlah Pemerintah bekerja sesuai dengan porsinya dalam menangani masalah transportasi dan mari kita berbuat dengan hati melalui langkah nyata. Ada yang punya solusi lain ??? Silahkan berbagi di kolom komentar yaaa...







with  hug,
Indah Budi Utari

No comments:

Post a Comment