Sunday, May 26, 2013


Igh! Macet!!


Saya yakin ungkapan kekesalan seperti itu lazim dilontarkan, khususnya bagi anda yang tinggal di daerah ibu kota nan padat. Bahkan tak jarang ungkapan kesal tersebut dipermanis pula dengan berbagai mantra sumpah serapah. Secara refleks, segala sesuatu di depan mata tampak menjadi serba salah. Kemudian muncul berbagai sasaran empuk yang dapat di legitimasi oleh logika sebagai penyebab kemacetan.

“Rusak sih ini jalan, banyak lubang, jadi aja cuma satu ruas yang bisa di pakai. Macet deh!”
“Oi !!! Polisi manaaa polisi?!? kalau lagi macet kayak gini pada ngilang!”
“Euuuhh…lagi ada bazaar sama konser musik ya?! Macet niii”
 “Angkot nih ya! ngetem’nya seenak jidat dah, bikin macet!”

Namun, pernahkah kita mempertanyakan diri sendiri? Mengevaluasi peranan kita dalam kemacetan. Atau memang sang logika secara otomatis mengeliminasi diri ini untuk di evaluasi, karena kita adalah individu yang termasuk kategori pengendara taat aturan. Eitsss… jangan salah, logika berpikir pun bisa saja salah kaprah, apabila pemahaman yang dimiliki masih sama dangkalnya layaknya comberan ibu kota.


Macet pada konteks urban mobility adalah suatu bentuk performansi pergerakan yang buruk. Apa itu performansi pergerakan? Mari kita lihat gambar sistem pergerakan berikut ini :

Interaksi dalam Sistem Pergerakan
Sumber: Santoso, I (2013)

Gambar tersebut memvisualisasikan korelasi antara setiap variabel dalam sistem pergerakan. Akar utama dari sistem ini adalah pergerakan. Setiap individu (bahkan barang) memiliki agenda kegiatan tersendiri. Namun berbagai agenda tersebut tidak mungkin dilakukan dalam satu ruangan saja bukan? Hal ini lah yang kemudian memicu terjadinya aktivitas pergerakan. Adanya keterkaitan antara aktivitas dan minimalnya hambatan ruang menyebabkan timbulnya potensi pergerakan. Potensi ini akan menjadi pergerakan bila di fasilitasi oleh perangkat transportasi. Semakin baik perangkat transportasi, maka akan semakin banyak potensi pergerakan yang akan terealisasi. Kemampuan memfasilitasi pergerakan tersebut diungkapkan dalam bentuk performansi pergerakan. 

Lantas apa hubungannya antara macet dengan performansi pergerakan?
Oke, sekarang saatnya kita membicarakan diri sendiri.

Manusia sebagai mahluk superior yang mengemban tugas memakmurkan bumi tentunya tak luput berperan dalam sistem pergerakan. In the name of gold glory and gospel , we are doing interventions for a prosperity life. Bentuk intervensi manusia ini dilakukan pada perangkat transportasi. Membangun jalan baru, membeli kendaraan, mengubah spesifikasi sarana transportasi umum, hingga menetapkan tarif tol adalah contoh dari bentuk intervensi manusia. And as always, the greedy takes over. Setiap individu pada akhirnya berlomba-lomba membeli kendaraan pribadi demi kelancaran agenda hidup masing-masing. Kita pun di buat lupa bahwa sesungguhnya ada tugas lain yang diberikan Pencipta selain memakmurkan bumi, yaitu memelihara bumi.

Bentuk solusi yang paling sering dikemukan adalah dengan cara mengubah perangkat transportasi. Setiap pemangku kebijakan di ibu kota pun berlomba-lomba mengadaptasi kesuksesan moda transportasi di negara lain. Tepat kah solusi seperti itu? Sukses kah menangani kemacetan? Jawabannya sukses. Ya! Sukses untuk beberapa bulan saja lebih tepatnya. Kita ambil contoh kasus busway. Pada awalnya busway adalah obat penawar bagi penyakit macet menahun di ibu kota Jakata. Ironisnya, sang obat nampak sudah kehilangkan khasiat. Jakarta tetap saja macet dan ratusan warganya harus rela menjadi ikan sarden yang di kemas dalam kaleng besi bernama busway

Pertanyaan utama yang hadir adalah, "Mengapa persoalan transportasi ini seolah-olah tak kunjung usai?". Hal ini disebabkan karena pemahaman manusia yang masih sangat terbatas. Tidak semua korelasi antar variabel dalam sistem pergerakan dipahami secara baik, terutama hubungan antara aktivitas dan perangkat transportasi.  Maka terciptalah sebuah monster, yang bernama lingkaran setan kemacetan

Lingkaran Setan Kemacetan
Sumber: Santoso, I (2013)

Haruskah kita menyerah begitu saja pada monster lingkaran setan kemacetan? 
Tidak adakah solusi yang dapat diberikan oleh para engineer transportasi, perencana tata kota, atau kaum akademisi lainnya untuk mengatasi kemacetan? 
Sampai kapan penyakit macet ini harus di derita? 
Itu yang pada rapat sambil bobo cantik di Parlemen pada paham enggak sih sama masalah ini?


Saya ingatkan yaaa, tak perlu lagi kita sibuk mencari kambing hitam, tunjuk hidung satu sama lain, hingga membanjiri lini massa dengan sumpah serapah. Hentikan sudah. Tulisan ini dibuat untuk mencoba memahamkan bahwa manusia lah yang sesungguhnya berperan menciptakan kemacetan. Ya! Manusia seperti saya dan anda-anda semua adalah aktor utamanya. Paling tidak, sadarilah terlebih dahulu apa peranan kita. 







with  hug,
Indah Budi Utari

No comments:

Post a Comment