Saturday, June 22, 2013

What we're doing today?


tik - tok - tik - tok
take - make - have - waste
tik - tok - tik - tok
take - make - have - waste



Ritme itulah yang sesungguhnya dilakukan oleh setiap manusia di seluruh belahan dunia. Kita terus mengambil berbagai hal dari alam, dengan mengatasnamakan "kebutuhan". Saat beliung persegi berada di masa keemasannya, kita masih memberikan penghormatan penuh kepada alam. Kita memuja dan memperlakukannya dengan istimewa, karena sadar bahwa ia adalah media pemenuh segala kebutuhan.

Perlahan namun pasti kabut peradaban membuat interaksi langsung antara manusia dengan alam menjadi terputus. Kabut ini menyebabkan kita tak lagi pengetahui proses terjadinya suatu produk pemenuh kebutuhan. Tokh, intinya produk itu sampai di tangan juga kan? Maka janganlah heran bila saat ini sangat mudah sekali menjumpai anak-anak yang tak lagi tahu bahwa nasi yang mereka makan pada hakikatnya berasal dari tanaman yang bernama padi. 


Kabut Peradaban 
Agung, I. (2012)


Manusia yang belum menyadari akan adanya kabut peradaban dan terbius oleh cepatnya ritme pemuasan kebutuhan adalah individu yang berbahaya. Mereka akan bertindak layaknya robot yang bergerak kian-kemari dengan lincah, tanpa sadar dan paham akan keterbatasan alam. Maka tak heran bila timbul berbagai masalah yang terkait dengan semakin terdesaknya ambang batas dari alam, diantaranya berupa masalah food security, water sanitation, serta biodiversity loss. 

Akan tetapi, sebenarnya individu yang paaaaling berbahaya adalah manusia yang sadar, namun memilih untuk menghindar. Mereka sebenarnya sudah mengetahui segala keterbatasan alam, namun tidak peduli dan cuci tangan begitu saja. Mereka yang menghindar ini pun dapat memanipulasi mereka yang belum sadar untuk lebih mengeksploitasi alam, yaitu dengan mengatasnamakan "demi kepentingan bersama".



Obat alternatif bagi bumi yang sakit-sakitan pun hadir,
dengan nama 
Education for Sustainable Development (ESD)



Sustainable development adalah prinsip utama dari ESD. Awalnya, saya hanya memahaminya sebagai pembangunan berkelanjutan. Namun diskusi dengan Bintan Solihat, seorang akademisi muda di bidang sustainable development, telah menghadirkan banyak letupan pemahaman baru. Pertanyaan sederhana mengenai perbedaan antara sustainable developmentdeveloping continuously, dan developing sustainably mengantarkan kami pada diskusi panjang yang jauh dari kata membosankan.


Pada akhirnya secara sederhana saya dapat mengungkapkan bahwa sustainable development adalah a new way of thinking -how to turn an ego to eco and to compromise with the nature. Layaknya suatu obat yang memiliki takaran spesifik untuk setiap pasien, sustainable development pun bersifat sangat spesifik. Kita tidak bisa begitu saja mengadopsi model sustainable development yang telah diterapkan di suatu daerah atau negara. There is no one size fits all model for sustainability.

Ego to Eco on Sustainable Development
Solihat, I (2013)


ESD adalah bentuk edukasi dari sustainable development, yang dapat diberikan kepada semua kalangan. Apabila semakin banyak individu yang memahami dan berpartisipasi aktif dalam ESD, maka saya yakin bahwa bumi ini dapat berangsur membaik. Yang perlu diperhatikan adalah, kita harus waspada terhadap bentuk partisipasi yang akan dilakukan. Hati-hati! Banyak media yang menggaungkan ESD dan mengimplementasikannya dengan berbagai program yang salah kaprah. Maka tak heran bila pada akhirnya ESD hanya menjadi kemasan komersialisasi semata dan bagian dari urban pop culture saja. 

So, what is not ESD ? (Lang, 2007) :
  1. Occasionally events, yaitu bentuk kampanye lingkungan yang hanya dilakukan dalam waktu singkat saja. Misalnya "one day anti-plastic bag campaign" dengan menyebarkan brosur dan membagikan tas karton yang diharapkan dapat menggantikan fungsi plastik. Implementasi dari keberlangsungan tindakan semacam itu bersifat nihil dan hanya sementara.
  2. Sustainability initiatives are taken only by part of organization, artinya adalah bila inisiatif ESD hanya dilakukan oleh salah satu organisasi saja, tanpa adanya dukungan dari masyarakat.
  3. Ad-hoc approach to implement environmental programs at school, maksudnya adalah memberikan program pendidikan lingkungan di sekolah, namun peserta didik tidak bisa atau tidak tergerak untuk mengimplementasikannya ke lingkungan sekitar.
  4. Not practising what you preach, contohnya adalah bila sekolah mengajarkan ESD namun mereka masih mempraktekan pemborosan pemakaian air serta melakukan massive printing.

Lantas, apa yang sudah saya lakukan untuk mengimplementasikan pemahaman ESD? Jujur saja, tidak banyak yang saya lakukan. Partisipasi saya sajauh ini adalah membawa botol minum bekal sendiri, tempat bekal makanan sendiri, melakukan print bolak-balik, dan berusaha untuk selalu menolak penggunaan  plastik saat berbelanja. Sederhana memang, namun semua itu dilakukan sesuai dengan kapasitas saya dan dengan hati senang. Mungkin efeknya tidak akan langsung mengurangi berkilo-kilo sampah plastik atau langsung menjadikan persediaan air tanah bertambah. Intinya adalah saya akan tetap berusaha konsisten untuk tidak terbuai dengan ritme take - make - have - waste. 

So, how about you? What you're doing today?







with  hug,
Indah Budi Utari

No comments:

Post a Comment